Kamu mungkin pernah mendengar istilah “biososial”, tapi apa sih sebenarnya artinya? Secara sederhana, biososial adalah konsep yang menjelaskan bagaimana faktor biologis (genetik, fisik, hormonal) dan faktor sosial (lingkungan, budaya, norma) saling memengaruhi satu sama lain. Kedua aspek ini nggak bisa dipisahkan dalam memahami perilaku manusia. Yuk, kita bahas lebih lanjut beberapa contoh nyata bagaimana faktor biologis dan sosial berinteraksi dalam kehidupan sehari-hari!
1. Kesehatan Mental dan Stigma Sosial
Kesehatan mental sering kali menjadi contoh yang tepat untuk melihat interaksi antara faktor biologi dan sosial. Secara biologis, beberapa gangguan mental, seperti depresi atau skizofrenia, mungkin dipengaruhi oleh ketidakseimbangan kimiawi di otak atau faktor genetik. Namun, bagaimana masyarakat memperlakukan atau memandang orang dengan gangguan mental juga memainkan peran besar dalam kondisi tersebut.
Contohnya, orang yang mengalami depresi mungkin memiliki kerentanan biologis terhadap gangguan tersebut, tapi stigma sosial terhadap kesehatan mental dapat memperburuk kondisinya. Mereka mungkin enggan mencari bantuan karena takut dinilai negatif atau dikucilkan. Di sini, faktor sosial—seperti pandangan masyarakat terhadap penyakit mental—bisa memperparah efek biologis yang sudah ada.
2. Perkembangan Remaja dan Tekanan Sosial
Masa remaja adalah waktu di mana tubuh mengalami banyak perubahan biologis, terutama karena pubertas. Hormon-hormon seperti testosteron dan estrogen menyebabkan perubahan fisik dan emosional yang signifikan. Tetapi, tekanan sosial juga memainkan peran besar dalam bagaimana remaja menavigasi periode ini. Misalnya, norma kecantikan atau standar fisik yang ada dalam masyarakat bisa memengaruhi cara remaja memandang tubuh mereka.
Seorang remaja yang sedang mengalami perubahan tubuh secara biologis mungkin merasa tidak nyaman jika standar kecantikan di lingkungan mereka sangat ketat atau tidak realistis. Hal ini bisa memicu rasa tidak percaya diri atau bahkan masalah kesehatan mental seperti gangguan makan. Jadi, faktor sosial ikut memengaruhi cara seorang individu merespons perubahan biologis alami mereka.
3. Perilaku Keibuan (Maternal Behavior)
Ini adalah contoh klasik dari interaksi biososial. Secara biologis, hormon seperti oksitosin berperan dalam memperkuat ikatan antara ibu dan bayi setelah kelahiran. Oksitosin ini disebut “hormon cinta” karena membantu membangun rasa keterikatan dan kasih sayang. Namun, perilaku keibuan tidak hanya didorong oleh biologi.
Lingkungan sosial—seperti dukungan dari keluarga, komunitas, atau bahkan kebijakan pemerintah terkait cuti melahirkan—juga sangat berpengaruh. Di masyarakat di mana ibu baru mendapatkan dukungan sosial yang baik, mereka cenderung merasa lebih mampu dalam menjalankan peran sebagai ibu. Sebaliknya, jika seorang ibu tinggal dalam lingkungan yang kurang mendukung, seperti tekanan untuk segera kembali bekerja atau minimnya bantuan keluarga, stres sosial bisa memengaruhi kualitas hubungan dengan bayinya. Di sini terlihat jelas bagaimana faktor biologis dan sosial berkolaborasi dalam membentuk pengalaman keibuan.
4. Kecerdasan dan Lingkungan Sosial
Kecerdasan seseorang memang bisa dipengaruhi oleh faktor genetik. Namun, perkembangan kecerdasan juga sangat bergantung pada faktor sosial, seperti akses pendidikan, lingkungan keluarga, dan status sosial-ekonomi. Anak-anak yang tumbuh di lingkungan yang penuh dengan stimulasi intelektual—misalnya, banyak buku di rumah, kesempatan untuk eksplorasi kreatif, atau dukungan orang tua—cenderung memiliki perkembangan kognitif yang lebih baik.
Namun, anak-anak yang tumbuh di lingkungan yang kurang mendukung, seperti kemiskinan atau kekerasan rumah tangga, mungkin tidak bisa mengoptimalkan potensi kecerdasannya. Jadi, meskipun genetik punya peran, faktor sosial seperti pendidikan dan kondisi lingkungan ikut berperan besar dalam perkembangan kognitif.
5. Pola Makan dan Kesehatan
Secara biologis, tubuh kita memerlukan nutrisi tertentu untuk tetap sehat. Namun, pilihan makanan kita sangat dipengaruhi oleh faktor sosial, seperti budaya, ekonomi, dan lingkungan. Di beberapa budaya, makanan berlemak atau manis mungkin dianggap sebagai makanan mewah, sementara di tempat lain, pola makan yang sehat lebih mudah diakses oleh masyarakat kelas atas yang punya pengetahuan dan uang lebih untuk mengakses bahan makanan organik atau bergizi tinggi.
Misalnya, di banyak negara maju, makanan cepat saji sangat murah dan mudah diakses, sehingga orang dengan pendapatan rendah lebih cenderung mengonsumsinya. Akibatnya, tingkat obesitas meningkat, yang bukan hanya masalah biologis (seperti metabolisme tubuh), tetapi juga dipengaruhi oleh kondisi sosial-ekonomi yang mendikte akses makanan sehat.
Kesimpulan
Konsep biososial menunjukkan bahwa perilaku manusia tidak pernah bisa dipahami hanya dari satu sudut pandang—biologis atau sosial saja. Keduanya saling memengaruhi dan membentuk cara kita hidup, bertindak, dan merespons lingkungan sekitar. Mulai dari kesehatan mental hingga perkembangan kecerdasan, contoh-contoh di atas menunjukkan betapa eratnya keterkaitan antara tubuh kita dan dunia sosial di sekitar kita.